Nama saya Lay Kie Chan (25). saya lahir dan besar di kota Sintang, berpenduduk hanya sebesar ± 500.000 jiwa. Kepadatan penduduk 16 jiwa/km2 yang terdiri dari multi etnis dengan mayoritas suku Dayak dan Melayu. Untuk menuju kabupaten sintang kita dapat menggunakan transportasi darat dan juga udara dari kota Pontianak membutuhkan waktu ± 12 jam perjalanan, sedangkan bila melalui udara ± 45 menit.
Kabupaten sintang juga memiliki potensi – potensi obyek wisata yang banyak dan tidak kalah dengan kabupaten – kabupaten lain yang berada di provinsi Kalimantan barat dari wisata alam sampai wisata sejarah.
Keluarga saya hidup dari berdagang tahu, tahu Cina dan bisnis keluarga menjadi salah satu latar belakang saya untuk ikut serta memasarkan tahu dengan sasaran rumah tangga. Saya berdagang tahu keliling dengan keuntungan yang didapat kecil saja per harinya. Tapi harus bagaimana lagi? Cuma itulah yang bisa saya dan keluarga lakukan untuk bisa hidup. Setiap harinya saya harus berjalan di bawah terik matahari. Sejujurnya, tidak pernah kami sekeluarga berpikir akan menjadi lebih baik suatu ketika nantinya.
Kesabaran, ketekunan, dan kerja keras tanpa mengeluh dari setelah lebih kurang 20 tahun berjualan tahu keliling dan dari modal yang dikumpulkan saya sewa tempat di pasar. Tidak hebat memang, namun bisa membuat pekerjaan saya dan keluarga sedikit lebih ringan. Minimal, dengan adanya tempat di pasar bisa jadinya berjualan tahu tanpa harus keliling. Meskipun sudah berjualan di pasar, saya tidak berhenti mengumpulkan dana untuk memajukan usaha.
Beberapa lama berjualan di pasar, peluang membesarkan usaha nampak di depan mata. Awal tahun 2000 setelah krismon, ada pengusaha pabrik tahu yang bangkrut dan menawarkan saya untuk beli pabrik dan alat-alat produksinya. Kesempatan itu langsung saya ambil. Sebuah pabrik pengolahan tahu yang berdiri di atas tanah agak di luar kota Sintang dan ini menjadi titik balik perjalanan usaha menjadi lebih besar. Sudah tentu saya dan keluarga harus merogoh kantong lebih dalam karena harus beli bangunan pabrik pengolahan dibutuhkan dana yang tidak sedikit, disamping juga perabotan dan beberapa alat produksi pengolahan tahu seperti mesin uap, tungku air dan lainnya. Tekad papi saya sudah sebesar gunung untuk mengambil kesempatan ini agar bisa memulai bisnis dengan keuntungan yang cukup menjanjikan di kemudian hari. Sadar tidak mampu menjalankan industri pengolahan makanan hanya dikalangan keluarga, papi merekrut banyak tenaga kerja dari keluarga jauh, pernah mempekerjakan 20 orang sekaligus.
Saya menceritakan pada awalnya industri pengolahan tahu ini hanya mampu memproduksi sedikitnya 1 kuintal tahu per hari yang kemudian didistribusikan ke pasar tradisional, yang dulunya salah satunya di tempat kami berjualan. Alhasil, perlahan tapi pasti, pabrik ini mulai berkembang. Dari 1 kuintal hingga menjadi sedikitnya 6 kuintal tahu per hari. Untuk mendistribusikan hasil pengolahannya, Kami juga memiliki sebuah mobil operasional berjenis pikap yang siap mengantar ke pasar pasar tradisional setiap malam.
Langkahnya menapaki dunia usaha tidak berjalan mulus. Insiden kebakaran yang melanda pabrik tahu milik keluarga saya itu. Amukan si jago merah pada 2005 silam membumihanguskan seluruh bangunan pabrik tahu beserta isinya. Beruntung, rumah tinggal kami di tengah kota, jauh dari pabrik itu. Semua ludes dan tidak bersisa. Ini cobaan terberat selama saya menjalankan usaha ini. Kebakaran yang terjadi itu akibat meledaknya tungku minyak.
Kerja keras saya dan keluargapun seolah habis tidak bersisa. Gelap rasanya segala sesuatunya waktu itu. Saya baru nikah dan baru punya bayi 2 bulan. Sedih sekali. Bingung tidak tahu mau kemana arah hidup ini, ada teman ingin menghibur, namanya Ahong. Dia dulunya sering pinjam uang ke saya; lebih sering tidak dikembalikan karena dia tidak mampu. Sewaktu kejadian amukan si jago merah tersebut, kehidupan ekonominya semakin baik, katanya karena adiknya di Pontianak sukses luar biasa. Adiknya ini bernama Lie Ryna. Dia memberi modal ke teman saya ini untuk usaha restoran bubur babi di Sintang. Usahanya maju pesat. Melihat saya sedang susah, dia ajak saya menghadiri pertemuan di Palangkaraya; Success Seminar judulnya.
Demikianlah, saya ditanggung penuh tiket pesawat pulang pergi termasuk hotel dan makan oleh Ahong menuju Palangkaraya. Seminarnya hanya sehari tapi cukup menggugah saya. Saya diberi arahan langsung oleh Top Leadernya, bu Linda. Belum cukup, selesai seminar saya minta Ahong bawa saya ke bu Linda untuk dikenalkan. Sewaktu berkenalan tidak terkesan sedikitpun oleh saya bahwa bu Linda ini orang yang sombong. Sebaliknya, beliau begitu ramah bahkan waktu menjabat tangan saya beliau lakukan dengan sambil agak membungkukkan badannya. Padahal beliau ini sudah punya penghasilan pasif milyaran rupiah.
Oleh bu Linda saya mendapatkan pejelasan mengenai bisnis Cash Back lebih lanjut dan ditail. Hati saya begitu tergugah untuk melangkah menjalankan bisnis tersebut, tanpa basa - basi saya langsung mendaftarkan diri untuk menjadi bagian dari mereka – MGM Group. Dengan persyaratan yang sudah saya selesaikan, proses pendaftaran berjalan dengan lancar sepulang dari seminar saya segera lakukan step step yang dianjurkan untuk dijalankan oleh grup MGM. Dalam hati saya sudah memiliki keyakinan dan kemantapan untuk sungguh-sungguh dalam bisnis ini. Saya tidak ingin hanya semangat di awal. Saya berjanji pada diri sendiri akan terus menjaga semangat sampai kapanpun.
Secara bertahap prosedur dan cara kerja Cash Back System saya pelajarihingga saya kuasai dengan benar. Kemudian sambil jalan sedikit demi sedikit saya lalukan bisnis tersebut dengan langsung terjun ke lapangan. Berbagai rintangan sudah saya tempuh namun hal tersebut tak menggoyahkan saya untuk tetap memacu semangat dalam berbisnis. Itu sudah menjdi pilihan saya. Jadi apapun resiko akan saya terima. Saya menganggap bahwasanya orang yang ingin sukses tidaklah akan semulus jalannya seperti yang kita inginkan.
Saya bangun bisnis ini di kota Sintang dari nol. Perlahan lahan, jatuh bangun, hancur bangun lagi, jaringan yang saya dirikan semakin kokoh. Hingga mulailah penghasilan saya terima dan rasakan. Banyak orang yang mengatakn bahwa bisnis jenis seperti Cash Back ini adalah bisnis yang sangat membuat orang kapok namun semua itu hanyalah hasil dari para pelaku bisnis itu sendiri. Banyak bisnis dimana-mana dan cara kerjanya pun juga sama akan tetapi tidak banyak juga mereka menjalankan bisnis model ini dengan semestinya hingga berakibat bisnis seperti ini menjadi tercemar namanya.
Bisnis yang menjadi Core di MGM-Group, yakni Cash Back System, sesungguhnya adalah aktivitas mencari teman. “Relationship Building is about making friends”. Setiap hari keliling Sintang untuk menemui satu-persatu prospek, sesungguhnya saya sedang mengoleksi teman-teman baru dan memupuk hubungan pertemanan dengan mereka. Saya tak pernah pilih-pilih kalau urusan mencari teman. Mau jadi Relationship Builder yang powerful? Mau jadi Independent Business Owner (IBO) yang banyak duit? Maka apakah saya ketemu manajer atau karyawan rendahan atau OB, saya perlakukan sama. Tak ada pilih-kasih, tak ada diskriminasi, perlakuannya SAMA.
Hubungan pertemanan ini terjalin tak hanya menyangkut hubungan kerja dan hubungan profesional, tapi juga hubungan personal dan kekeluargaan. Karena setiap saat selalu menambah koleksi teman, sebagai RB saya merasakan sebuah kekayaan jiwa yang jauh melebihi kekayaan harta dan kekayaan kuasa.
Setelah tahunan menjadi RB, saya menganggap setiap prospek atau downline adalah teman, bukan sekedar konsumen. Bagi saya mereka adalah teman yang selalu ikhlas memberi dan berbagi. Berkat menjadi Relationship Builder, teman-teman saya melimpah-ruah dan ini merupakan berkah luar biasa. Kenapa? Karena kehidupan terindah dan ternikmat adalah ketika kita dikelilingi teman-teman yang selalu ikhlas memberi dan berbagi.
Hidup menjadi begitu bermakna ketika kita dikelilingi oleh teman-teman yang peduli dan berbagi. Ini menjadi asupan energi luar biasa, yang membuat saya selalu positif, selalu berlimpah semangat, selalu menghayati pekerjaan ini dengan sepenuh hati.
Pekerjaan RB juga memberi saya pelajaran hidup. Ya, karena meyakinkan prospek untuk bergabung ke komunitas kita itu tidak gampang. Dulu awal-awal berprofesi sebagai RB ini, saya lebih banyak ditolak ketimbang diterima prospek. Jujur saja, sampai sekarang pun, setelah melanglang-buana di dunia ini, saya pun masih sering ditolak. Terjun di dunia ini tanpa penolakan, itu namanya hil yang mustahal. Terjun di dunia business relation tanpa kegagalan, itu namanya hal yang mustahil. Tetapi mohon catat 1 hal: mereka yang menolak itu menolak bergabung masuk komunitas; tetapi, apakah mereka juga menolak menjadi relasi saya? Sudah tentu tidak! Jjustru di sinilah sisi indah dunia Business Relation. Ditolak dan gagal itu menyadarkan saya bahwa kesuksesan itu tidak gampang; kesuksesan itu perlu kegigihan; kesuksesan itu bukan cuma hasil dari kerja instan. Saya jadi ingat ungkapan inspiring dari Soichiro Honda, pendiri Honda Motor. Dia bilang: “Sucess is 99% failure”, sukses itu buah dari segudang kegagalan.
Inilah pelajaran hidup paling besar yang saya peroleh dari dunia RB. Bahwa kegagalan bukanlah akhir segalanya. Kegagalan tak seharusnya membuat kita loyo. Kegagalan seharusnya memberi kita pelajaran-pelajaran. Dari dari pelajaran-pelajaran itu kita bangkit untuk menjadi lebih baik.
Kini, tepatnya 8 tahun setelah kebakaran pabrik itu, penghasilan saya dari Cash Back System justru setiap bulannya lebih dari puluhan kali lipat dari pada sebagai owner pabrik tahu. Artinya kalau dulu sebagai juragan tahu saya bisa mengantongi puluhan juta rupiah setiap bulannya (karena bagi bagi dengan adik kakak sekeluarga) maka sekarang ratusan juta rupiah itu hal biasa, malah cenderung terus meningkat. Tidak hanya itu, penghasilan kali ini PASIF! Artinya tanpa bekerja lagipun uang terus mengalir setiap bulannya. Sampai akhirnya saya kesampaian membeli sepeda motor Harley Davidson (seperti dalam foto)
Membaca paragraf demi paragrafi tulisan ini pasti pembaca punya kesimpulan yang sama dengan saya: “WOW… betapa indahnya menjadi seorang Relationship Builder; WOW… betapa mulianya menjadi seorang Relationship Builder; dan WOW… betapa cool-nya menjadi seorang Relationship Builder.”
Tapi rupanya potret di atas tak seindah gambar aslinya. Ya, karena dari dulu hingga sekarang profesi Relationship Builder dipandang sebelah mata di antara profesi-profesi lain. Jaman saya kecil, tak ada satupun anak-anak yang punya cita-cita menjadi Relationship Builder ; yang ada menjadi dokter, insinyur atau astronout. Ketika lulus kuliah, tidak ada fresh graduate yang memilih berprofesi menjadi Relationship Builder. Mereka cenderung menempatkan profesi Relationship Builder di posisi paling buncit setelah sebelumnya ditolak di profesi-profesi lain.
Kalau kontras seperti ini, pertanyaannya: “Ini salah siapa?”
Dari kesemua itu puji syukur saya kepada Tuhan karena telah dipertemukan dengan ibu Linda Nisida, Tripple Diamond MGM-G.