Wednesday, January 17, 2018

Diberi Ongkos Jalan




Penulis: Gideon Ambasalu
Berbagai pengalaman tentunya dialami para anggota MGM yang terkait dengan aktivitas Bangun Relasi. Sekitar 2,5 tahun yang lalu saya juga alami saat saya berkunjung ke rumah seorang prospek - calon member klub tercinta ini, untuk saya tawarkan agar ikut bergabung di Klub merealisasikan impian. Salah-satu kejadian yang cukup menyesakkan. Ya, memang sudah menjadi resiko orang marketing. Saat itu 2017. Saya menelepon prospek yang bernama sebut saja Ibrahim.
 “Halo, selamat pagi Pak Ibrahim.”
 “Ya, selamat pagi.”
 “Apa kabar, Pak?”
 “Baik, dari siapa ini?”
 “Ma’af mengganggu waktunya sebentar, Pak. Saya Gideon, dari Klub MGM. Tujuan saya menelepon Bapak, ingin buat janji ketemu dengan Bapak, 20 menit saja, tidak hari ini, mungkin besok atau lusa, Pak.”
 “Untuk apa?”
 “Memperkenalkan Klub MGM ini, klub sosial dan bisnis. Apakah Bapak sudah tahu sebelumnya?”
 “Belum. Tapi Bapak tahu nomor HP saya dari mana?”
 “Dari relasi saya, bu Mirna yang kerja di KADIN, Pak.”
 “ohh…, ya bu Mirna.”
 “Ya pak, bu Mirna mereferensikan bapak sebagai orang penting”
 “Oh begitu. Bisa saja bu Mirna itu ya?”
 “Betul, Pak. Jadi kapan saya bisa diijinkan bertemu Bapak? Tidak lama, 20 menit saja, Pak. Saya akan presentasikan manfaat dan peluang peluang yang bisa bapak dapatkan dari Klub kami. Sekalian punya kesempatan untuk bersilaturahmi dan bisa kenal dengan Bapak.”
 “Boleh-boleh saja Bapak mau bersilaturahmi dan kenal dengan saya, tapi mengenai apa yang mau Bapak sampaikan, bisa ceritakan saja sekarang.”
 “Terimakasih atas perkenannya, Pak. Tapi kalau disampaikan lewat telepon, kurang akurat, Pak. Sebaiknya kita bertemu, tatap muka. Sebab ada materi presentasi berupa flip chart yang akan saya perlihatkan, yang tidak bisa disampaikan lewat telepon, tapi harus dilihat. Bagaimana, Pak? Kapan diperbolehkan bertemu?”
 “Mmm…, ya sudah kalau Bapak bersikeras mau datang. Kalau begitu besok sore setelah jam kantor ke kantor saya.”
 “Baik, Pak. Boleh saya catat alamat kantor bapak?”
 Lalu saya catat alamat Pak Ibrahim, beliau tinggal di daerah Thamrin. Dekat perjalanannya karena selain aktivitas di MGM kantor saya di daerah Kuningan, Jl. HR. Rasuna Said.
 “Oke, Pak. Sudah saya catat alamat kantor Bapak. Terimakasih, Pak. Sampai ketemu besok.”
 Keesokan harinya jam 5:30, saya berangkat kesana, beserta pak Tony Hartono yang juga mempunyai jadwal prospecting, yang daerah tujuannya satu arah. Jadwal prospecting saya adalah yang paling terakhir. Setelah drop paak Tony supir pun menghantarkan saya ke Thamrin.
 Secara kasat mata, selain interior kantornya bagus, telah terlihat sewaktu saya menunggu sebentar di kursi di luar ruangannya, bahwa kedudukan pak Ibrahim ini cukup tinggi.
 Saya ditemui oleh sekretarisnya, karena Pak Ibrahim masih rapat di luar kantor dan dalam perjalanan balik ke kantor. Sambil duduk menunggu, saya pun memperhatikan situasi di sekeliling ruang tamu dan sekitarnya.
 Penataan interior kantor juga rapih teratur dan berseni. Desain arsitektur rumahnya yang bagus. Jam 18 Pak Ibrahim sudah sampai kembali di kantornya. Saya pun segera menyapanya. Perawakannya kecil, kurus, tingginya sekitar 165 Cm, lebih pendek sedikit dari saya. Berusia sekitar 37 tahun, kulitnya gelap seperti saya, rambutnya pendek cepak. Seperti dalam bayangan saya sebelumnya, penampilannya seperti executive / businessman pada umumnya.
Bapak sudah lama menunggu?”
 “Oh nggak, Pak. Hanya 25 menitan saja.”
 “Hmm… ya, gimana, gimana nih? Apa yang mau Bapak coba presentasikan ke saya? Langsung saja, to the point, supaya nggak bertele-tele. Kasihan Bapak nanti kalau terlalu panjang menjelaskan dan pada akhirnya nanti saya nggak mau.”
 “Oh begitu ya, Pak? Tapi sebelumnya mohon ma’af, Pak. Kalau boleh tahu, apa kira kiranya yang membuat bapak tidak mau bergabung di klub ini?”
 “Begini, Pak. Dari semenjak Bapak menelepon saya kemarin itu, sebenarnya saya itu sudah kurang minat dengan penawaran Klub itu. Karena menurut saya bakal buang buang waktu saya. Tapi prinsip saya menolak di telepon itu tidak baik, tidak sopan. Terlebih lagi, Bapak mau datang dengan niat bersilaturahmi dengan saya. Jadi, ya tidak saya tolak, saya persilahkan saja untuk datang. Nah, sekarang kan Bapak sudah datang, untuk penawaran bergabung ke Klubnya saya tidak mau. Makanya tadi saya tegaskan di awal, untuk tidak menjelaskan terlalu panjang. Kalau silaturahminya sih, saya terima.”
 “Terimakasih Pak Ibrahim sudah menerima silaturahmi saya. Tujuan saya bersilaturahmi dengan Bapak adalah untuk membangun relationship, siapa tahu ada kerjasama bisnis. Harapan saya, siapa tahu nanti kita bisa menjadi partner bisnis yang baik dan saling menguntungkan. Namun karena Bapak sudah menegaskan tidak mau dengan penawaran Klub ini, tidak menjadi masalah, Pak. Tapi karena saya sudah jauh-jauh datang kemari, paling tidak, tolong beri saya kesempatan sebentar saja untuk menjelaskan sekilas tentang peluang bisnis dan sosial yang ditawarkan Klub MGM, Pak.”
 “Percuma saja, Pak. Sia-sia nanti. Bapak sudah capek-capek ngomong, pada akhirnya juga saya nggak mau.”
 “Nggak apa-apa, Pak. Itu bagian dari resiko marketing. Lepas dari Bapak mau atau tidak, paling tidak, tugas saya untuk menyampaikan informasi yang benar dan berbagai fasilitas dari Klub kami kepada masyarakat, khususnya kepada Pak Ibrahim ini bisa tersampaikan dengan baik.”
 “Ya ya ya…, silahkan jelaskan.”
 Selanjutnya saya pun menjelaskan poin-poinnya dengan singkat dan padat. Kemudian saya berikan satu set Club profile kepada Pak Ibrahim.
 “Ooo… begitu, ya? Terimakasih Bapak sudah menjelaskan. Dan jawabannya, saya tetap tidak mau. Bukannya bisnis dan fasilitas sosial yang Bapak tawarkan ini tidak bagus, oh tidak. Tapi untuk saya, tapi saya pikir akan buang waktu saya. Itu yang utama! Bagi saya waktu itu berharga. Saya tidak menuduh bahwa bisnis yang Bapak tawarkan ini adalah bisnis yang tidak sesuai hukum lho? Walaupun menurut saya, untuk bisnis Bapak ini, jika pun saya mau bergabung, saya masih perlu untuk menelitinya lagi. Tapi saya tidak mau repot-repot untuk itu. Dari pada buang-buang waktu, lebih baik saya konsentrasi ngurusin bisnis saya yang sudah jelas syari’ah. Mengenai bisnis secara online trading seperti yang Bapak tawarkan ini, saya juga sudah biasa melakukannya”.
Ya, Pak. Saya sudah jelas. Tidak apa-apa Bapak tidak berminat pada Klub yang saya tawarkan ini. Tapi lepas dari tu, ternyata Pak Ibrahim ini orang hebat! Posisi bapak di kantor ini saya lihat sudah tinggi. Saya kagum pada Bapak! Masih sangat muda, tapi sudah sukses!”
 “Ya ya ya, begitulah Pak Gideon. Saya…, sangat bersyukur telah diberi nikmat yang banyak oleh Tuhan. Terutama nikmat berkelimpahan secara ekonomi. Oleh karena itu, untuk mengamalkan rasa bersyukur saya tersebut, saya tidak lupa untuk selalu berbagi rezeki kepada fakir-miskin, kaum dhu’afa dan orang-orang lainnya yang secara ekonomi jauh di bawah saya.”
 “Wahh…! Mulia sekali hati Bapak, ya?”
 “Aahhh…, biasa saja kok, Pak. Memang seharusnya begitulah sifat seorang Muslim yang baik. Oh ya, Pak Gideon kan tadi sudah memberikan saya satu set Club profile? Baiklah, ini saya terima dengan baik, meskipun saya tidak membutuhkannya. Namun untuk membalas pemberian Bapak tersebut, bolehkah saya menggantinya dengan memberikan sesuatu kepada Bapak? ”
Maksud Bapak?”
Yaa…, Club profile Bapak ini kan bagus, cetakannya mewah. Biaya cetaknya juga pasti mahal. Oleh karena Bapak sudah memeberikannya kepada saya, maka saya pun harus menerimanya dengan baik. Kenapa? Karena menurut ajaran Islam, suatu pemberian itu tidak boleh ditolak, justru harus diterima. Dan saya bukanlah orang yang mau menerima sesuatu secara cuma-cuma. Untuk itu saya harus membalasnya dengan suatu pemberian. Bolehkah saya memberikan sesuatu kepada Bapak?”
 “Waduh…, Pak Ibrahim. Mohon ma’af, saya tidak bisa menerimanya. Terimakasih atas niat baik Bapak. Club profile itu kan merupakan sebuah media informasi yang memang harus dibagikan secara gratis untuk sosialisasi bisnis, tidak untuk diganti biayanya, karena sudah termasuk ke dalam budget marketing.”
 “Oke lah kalau pemberian saya ini bukan untuk mengganti Club profile Bapak. Kalau begitu, untuk membayar kompensasi, karena saya tidak bergabung di Klub investasi Bapak. Saya mohon agar Bapak mau menerimanya.”
 “Klub atau Komunitas saya tidak menerapkan penggantian berupa kompensasi apapun atas tidak bergabungnya calon member setelah terlaksananya janji ketemu, Pak. Jadi, kami mohon ma’af. Pemberian Bapak tidak bisa kami terima.”
 “Kalau begitu, untuk mengganti ongkos Bapak yang sudah datang kemari saja. Saya mengerti kok, Bapak juga pasti membutuhkannya. Karena saya tahu, sebelum saya sukses seperti sekarang ini, saya dulu juga pernah menjadi marketing. Jadi, tolong diterima, Pak.”
 “Mohon ma’af, Pak. Saya tidak bisa menerimanya. Peraturan Klub melarang seluruh marketing untuk menerima pemberian dalam bentuk apapun, termasuk penggantian ongkos transportasi.”
 “Pak Gideon, saya ini bermaksud baik. Kalau tadi Bapak mengaitkannya dengan Klub, sekarang saya berniat memberikannya secara pribadi, antara saya dan Bapak saja. Tolong Bapak terima.”
 “Sekali lagi ma’af, Pak Ibrahim. Saya tidak bisa menerimanya. Karena saya kemari tidak membawa nama pribadi, tapi membawa nama Klub.”
 “Yaahh…, kalau pun Bapak tidak mau menerimanya, saya titip untuk putra atau putri Bapak di rumah. Tolong diterima, Pak.”
 “Terimakasih atas perhatian Bapak terhadap anak saya, tapi sekali lagi mohon ma’af, saya tidak bisa menerimanya, Pak. Saya datang kesini menemui Bapak bermaksud untuk menawarkan Komunitas, bukan untuk menerima sumbangan.”
 “Pak Gideon, saya tidak bermaksud untuk menghina Bapak. Alhamdulillah, saya berkelimpahan rizki, apakah salah jika saya membagikan sebagian rizki saya kepada orang lain? Nah…, kebetulan sekarang yang datang adalah Bapak. Jadi ini adalah rizki Bapak. Tapi karena Bapak tidak mau menerimanya, maka ini menjadi rizki putra atau putri Bapak. Dan Bapak harus menyampaikannya, karena ini merupakan amanat. Dan jika suatu amanat tidak disampaikan, maka bisa berdosa. Ini niat baik saya, Pak. Dan untuk itu saya memaksa. Saya akan sangat tersinggung, jika Bapak menolaknya. Oleh karena itu, tolong diterima dan disampaikan, Pak.”
 Dia telah sampai pada puncaknya.

Beri waktu saya sebentar untuk berpikir, Pak.”
 “Ya ya, silahkan, Pak.”
 Saya merasa, bahwa penampilan saya sudah cukup perlente, mengenakan dasi, dan mengenakan jas. Karena jika janji ketemu, saya selalu mengenakan jas, tujuannya untuk menjaga dan mengangkat citra Klub dan citra diri sendiri.
 Tapi karena Pak Ibrahim memaksa, dan akan sangat tersinggung jika saya menolaknya, maka demi untuk menghormatinya, dan demi menjaga keamanan diri saya yang berada di lingkungan orang, maka saya abaikan peraturan perusahaan, dan memutuskan untuk menerimanya. Sebab jika saya menolaknya, saya kuatir dia menjadi marah. Dan kalau orang sudah marah besar, biasanya hampir tidak ada sikap dan cara-cara intelektual yang akan terjadi selanjutnya.
 Ketika saya terima, tangan saya merasakan lipatan itu tipis sekali. Ternyata hanya uang Rp. 50 ribu! Astaghfirullahalazhiim…! Dia memang menyantuni saya! Saya tidak tersinggung terhadap penolakannya untuk bergabung, tapi terhadap perlakuan dan pandangan dia dalam hal memberi uang pengganti ongkos ini, saya sangat tersinggung! Tega-teganya dia memposisikan seorang marketing bisnis Klub yang layak disantuni! Saya tidak meremehkan uang 50 ribu rupiah sebagai rizki, tapi saya tidak suka dengan situasi ini!
 Dengan segera saya mengatur sikap, menurunkan rasa kaget, menghilangkan raut wajah tersinggung dan meredam marah. Menggantinya dengan senyum dan sikap gembira.
 “Ngomong ngomong pak, bisa bapak berikan ke saya paling tidak relasi bapak yang bisa dikenalkan ke saya...." Saya coba teknik CLD - Contact List Digging.
Tentu. Sebentar saya berikan..”
Kalau begitu saya pamit, Pak. Terimakasih telah menyediakan waktu untuk saya, juga uang 50 ribu ini.” Pamit saya padanya sambil bersalaman.
 “Ya ya ya, Pak Gideon. Sama-sama. Terimakasih sudah bersilaturahmi.”
 Saya pun beranjak pergi sambil diantar olehnya sampai pintu lift.




No comments:

Post a Comment