Penulis:
Gideon Ambasalu
Berbagai
pengalaman tentunya dialami para anggota MGM yang terkait dengan
aktivitas Bangun Relasi. Sekitar 2,5 tahun yang lalu saya juga alami
saat saya berkunjung ke rumah seorang prospek - calon member klub
tercinta ini, untuk saya tawarkan agar ikut bergabung di Klub
merealisasikan impian. Salah-satu kejadian yang cukup menyesakkan.
Ya, memang sudah menjadi resiko orang marketing. Saat itu 2017. Saya
menelepon prospek yang bernama sebut saja Ibrahim.
“Halo,
selamat pagi Pak Ibrahim.”
“Ya,
selamat pagi.”
“Apa
kabar, Pak?”
“Baik,
dari siapa ini?”
“Ma’af
mengganggu waktunya sebentar, Pak. Saya Gideon, dari Klub MGM. Tujuan
saya menelepon Bapak, ingin buat janji ketemu dengan Bapak, 20 menit
saja, tidak hari ini, mungkin besok atau lusa, Pak.”
“Untuk
apa?”
“Memperkenalkan
Klub MGM ini, klub sosial dan bisnis. Apakah Bapak sudah tahu
sebelumnya?”
“Belum.
Tapi Bapak tahu nomor HP saya dari mana?”
“Dari
relasi saya, bu Mirna yang kerja di KADIN, Pak.”
“ohh…,
ya bu Mirna.”
“Ya
pak, bu Mirna mereferensikan bapak sebagai orang penting”
“Oh
begitu. Bisa saja bu Mirna itu ya?”
“Betul,
Pak. Jadi kapan saya bisa diijinkan bertemu Bapak? Tidak lama, 20
menit saja, Pak. Saya akan presentasikan manfaat dan peluang peluang
yang bisa bapak dapatkan dari Klub kami. Sekalian punya kesempatan
untuk bersilaturahmi dan bisa kenal dengan Bapak.”
“Boleh-boleh
saja Bapak mau bersilaturahmi dan kenal dengan saya, tapi mengenai
apa yang mau Bapak sampaikan, bisa ceritakan saja sekarang.”
“Terimakasih
atas perkenannya, Pak. Tapi kalau disampaikan lewat telepon, kurang
akurat, Pak. Sebaiknya kita bertemu, tatap muka. Sebab ada materi
presentasi berupa flip chart yang akan saya perlihatkan, yang tidak
bisa disampaikan lewat telepon, tapi harus dilihat. Bagaimana, Pak?
Kapan diperbolehkan bertemu?”
“Mmm…,
ya sudah kalau Bapak bersikeras mau datang. Kalau begitu besok sore
setelah jam kantor ke kantor saya.”
“Baik,
Pak. Boleh saya catat alamat kantor bapak?”
Lalu
saya catat alamat Pak Ibrahim, beliau tinggal di daerah Thamrin.
Dekat perjalanannya karena selain aktivitas di MGM kantor saya di
daerah Kuningan, Jl. HR. Rasuna Said.
“Oke,
Pak. Sudah saya catat alamat kantor Bapak. Terimakasih, Pak. Sampai
ketemu besok.”
Keesokan
harinya jam 5:30, saya berangkat kesana, beserta pak Tony Hartono
yang juga mempunyai jadwal prospecting, yang daerah tujuannya satu
arah. Jadwal prospecting saya adalah yang paling terakhir. Setelah
drop paak Tony supir pun menghantarkan saya ke Thamrin.
Secara
kasat mata, selain interior kantornya bagus, telah terlihat sewaktu
saya menunggu sebentar di kursi di luar ruangannya, bahwa kedudukan
pak Ibrahim ini cukup tinggi.
Saya
ditemui oleh sekretarisnya, karena Pak Ibrahim masih rapat di luar
kantor dan dalam perjalanan balik ke kantor. Sambil duduk menunggu,
saya pun memperhatikan situasi di sekeliling ruang tamu dan
sekitarnya.
Penataan
interior kantor juga rapih teratur dan berseni. Desain arsitektur
rumahnya yang bagus. Jam 18 Pak Ibrahim sudah sampai kembali di
kantornya. Saya pun segera menyapanya. Perawakannya kecil, kurus,
tingginya sekitar 165 Cm, lebih pendek sedikit dari saya. Berusia
sekitar 37 tahun, kulitnya gelap seperti saya, rambutnya pendek
cepak. Seperti dalam bayangan saya sebelumnya, penampilannya seperti
executive / businessman pada umumnya.
“Bapak
sudah lama menunggu?”
“Oh
nggak, Pak. Hanya 25 menitan saja.”
“Hmm…
ya, gimana, gimana nih? Apa yang mau Bapak coba presentasikan ke
saya? Langsung saja, to the point, supaya nggak bertele-tele. Kasihan
Bapak nanti kalau terlalu panjang menjelaskan dan pada akhirnya nanti
saya nggak mau.”
“Oh
begitu ya, Pak? Tapi sebelumnya mohon ma’af, Pak. Kalau boleh tahu,
apa kira kiranya yang membuat bapak tidak mau bergabung di klub ini?”
“Begini,
Pak. Dari semenjak Bapak menelepon saya kemarin itu, sebenarnya saya
itu sudah kurang minat dengan penawaran Klub itu. Karena menurut saya
bakal buang buang waktu saya. Tapi prinsip saya menolak di telepon
itu tidak baik, tidak sopan. Terlebih lagi, Bapak mau datang dengan
niat bersilaturahmi dengan saya. Jadi, ya tidak saya tolak, saya
persilahkan saja untuk datang. Nah, sekarang kan Bapak sudah datang,
untuk penawaran bergabung ke Klubnya saya tidak mau. Makanya tadi
saya tegaskan di awal, untuk tidak menjelaskan terlalu panjang. Kalau
silaturahminya sih, saya terima.”
“Terimakasih
Pak Ibrahim sudah menerima silaturahmi saya. Tujuan saya
bersilaturahmi dengan Bapak adalah untuk membangun relationship,
siapa tahu ada kerjasama bisnis. Harapan saya, siapa tahu nanti kita
bisa menjadi partner bisnis yang baik dan saling menguntungkan. Namun
karena Bapak sudah menegaskan tidak mau dengan penawaran Klub ini,
tidak menjadi masalah, Pak. Tapi karena saya sudah jauh-jauh datang
kemari, paling tidak, tolong beri saya kesempatan sebentar saja untuk
menjelaskan sekilas tentang peluang bisnis dan sosial yang ditawarkan
Klub MGM, Pak.”
“Percuma
saja, Pak. Sia-sia nanti. Bapak sudah capek-capek ngomong, pada
akhirnya juga saya nggak mau.”
“Nggak
apa-apa, Pak. Itu bagian dari resiko marketing. Lepas dari Bapak mau
atau tidak, paling tidak, tugas saya untuk menyampaikan informasi
yang benar dan berbagai fasilitas dari Klub kami kepada masyarakat,
khususnya kepada Pak Ibrahim ini bisa tersampaikan dengan baik.”
“Ya
ya ya…, silahkan jelaskan.”
Selanjutnya
saya pun menjelaskan poin-poinnya dengan singkat dan padat. Kemudian
saya berikan satu set Club profile kepada Pak Ibrahim.
“Ooo…
begitu, ya? Terimakasih Bapak sudah menjelaskan. Dan jawabannya, saya
tetap tidak mau. Bukannya bisnis dan fasilitas sosial yang Bapak
tawarkan ini tidak bagus, oh tidak. Tapi untuk saya, tapi saya pikir
akan buang waktu saya. Itu yang utama! Bagi saya waktu itu berharga.
Saya tidak menuduh bahwa bisnis yang Bapak tawarkan ini adalah bisnis
yang tidak sesuai hukum lho? Walaupun menurut saya, untuk bisnis
Bapak ini, jika pun saya mau bergabung, saya masih perlu untuk
menelitinya lagi. Tapi saya tidak mau repot-repot untuk itu. Dari
pada buang-buang waktu, lebih baik saya konsentrasi ngurusin bisnis
saya yang sudah jelas syari’ah. Mengenai bisnis secara online
trading seperti yang Bapak tawarkan ini, saya juga sudah biasa
melakukannya”.
“Ya,
Pak. Saya sudah jelas. Tidak apa-apa Bapak tidak berminat pada Klub
yang saya tawarkan ini. Tapi lepas dari tu, ternyata Pak Ibrahim ini
orang hebat! Posisi bapak di kantor ini saya lihat sudah tinggi. Saya
kagum pada Bapak! Masih sangat muda, tapi sudah sukses!”
“Ya
ya ya, begitulah Pak Gideon. Saya…, sangat bersyukur telah diberi
nikmat yang banyak oleh Tuhan. Terutama nikmat berkelimpahan secara
ekonomi. Oleh karena itu, untuk mengamalkan rasa bersyukur saya
tersebut, saya tidak lupa untuk selalu berbagi rezeki kepada
fakir-miskin, kaum dhu’afa dan orang-orang lainnya yang secara
ekonomi jauh di bawah saya.”
“Wahh…!
Mulia sekali hati Bapak, ya?”
“Aahhh…,
biasa saja kok, Pak. Memang seharusnya begitulah sifat seorang Muslim
yang baik. Oh ya, Pak Gideon kan tadi sudah memberikan saya satu set
Club profile? Baiklah, ini saya terima dengan baik, meskipun saya
tidak membutuhkannya. Namun untuk membalas pemberian Bapak tersebut,
bolehkah saya menggantinya dengan memberikan sesuatu kepada Bapak? ”
“Maksud
Bapak?”
“Yaa…,
Club profile Bapak ini kan bagus, cetakannya mewah. Biaya cetaknya
juga pasti mahal. Oleh karena Bapak sudah memeberikannya kepada saya,
maka saya pun harus menerimanya dengan baik. Kenapa? Karena menurut
ajaran Islam, suatu pemberian itu tidak boleh ditolak, justru harus
diterima. Dan saya bukanlah orang yang mau menerima sesuatu secara
cuma-cuma. Untuk itu saya harus membalasnya dengan suatu pemberian.
Bolehkah saya memberikan sesuatu kepada Bapak?”
“Waduh…,
Pak Ibrahim. Mohon ma’af, saya tidak bisa menerimanya. Terimakasih
atas niat baik Bapak. Club profile itu kan merupakan sebuah media
informasi yang memang harus dibagikan secara gratis untuk sosialisasi
bisnis, tidak untuk diganti biayanya, karena sudah termasuk ke dalam
budget marketing.”
“Oke
lah kalau pemberian saya ini bukan untuk mengganti Club profile
Bapak. Kalau begitu, untuk membayar kompensasi, karena saya tidak
bergabung di Klub investasi Bapak. Saya mohon agar Bapak mau
menerimanya.”
“Klub
atau Komunitas saya tidak menerapkan penggantian berupa kompensasi
apapun atas tidak bergabungnya calon member setelah terlaksananya
janji ketemu, Pak. Jadi, kami mohon ma’af. Pemberian Bapak tidak
bisa kami terima.”
“Kalau
begitu, untuk mengganti ongkos Bapak yang sudah datang kemari saja.
Saya mengerti kok, Bapak juga pasti membutuhkannya. Karena saya tahu,
sebelum saya sukses seperti sekarang ini, saya dulu juga pernah
menjadi marketing. Jadi, tolong diterima, Pak.”
“Mohon
ma’af, Pak. Saya tidak bisa menerimanya. Peraturan Klub melarang
seluruh marketing untuk menerima pemberian dalam bentuk apapun,
termasuk penggantian ongkos transportasi.”
“Pak
Gideon, saya ini bermaksud baik. Kalau tadi Bapak mengaitkannya
dengan Klub, sekarang saya berniat memberikannya secara pribadi,
antara saya dan Bapak saja. Tolong Bapak terima.”
“Sekali
lagi ma’af, Pak Ibrahim. Saya tidak bisa menerimanya. Karena saya
kemari tidak membawa nama pribadi, tapi membawa nama Klub.”
“Yaahh…,
kalau pun Bapak tidak mau menerimanya, saya titip untuk putra atau
putri Bapak di rumah. Tolong diterima, Pak.”
“Terimakasih
atas perhatian Bapak terhadap anak saya, tapi sekali lagi mohon
ma’af, saya tidak bisa menerimanya, Pak. Saya datang kesini menemui
Bapak bermaksud untuk menawarkan Komunitas, bukan untuk menerima
sumbangan.”
“Pak
Gideon, saya tidak bermaksud untuk menghina Bapak. Alhamdulillah,
saya berkelimpahan rizki, apakah salah jika saya membagikan sebagian
rizki saya kepada orang lain? Nah…, kebetulan sekarang yang datang
adalah Bapak. Jadi ini adalah rizki Bapak. Tapi karena Bapak tidak
mau menerimanya, maka ini menjadi rizki putra atau putri Bapak. Dan
Bapak harus menyampaikannya, karena ini merupakan amanat. Dan jika
suatu amanat tidak disampaikan, maka bisa berdosa. Ini niat baik
saya, Pak. Dan untuk itu saya memaksa. Saya akan sangat tersinggung,
jika Bapak menolaknya. Oleh karena itu, tolong diterima dan
disampaikan, Pak.”
Dia
telah sampai pada puncaknya.
“Beri
waktu saya sebentar untuk berpikir, Pak.”
“Ya
ya, silahkan, Pak.”
Saya
merasa, bahwa penampilan saya sudah cukup perlente, mengenakan dasi,
dan mengenakan jas. Karena jika janji ketemu, saya selalu mengenakan
jas, tujuannya untuk menjaga dan mengangkat citra Klub dan citra diri
sendiri.
Tapi
karena Pak Ibrahim memaksa, dan akan sangat tersinggung jika saya
menolaknya, maka demi untuk menghormatinya, dan demi menjaga keamanan
diri saya yang berada di lingkungan orang, maka saya abaikan
peraturan perusahaan, dan memutuskan untuk menerimanya. Sebab jika
saya menolaknya, saya kuatir dia menjadi marah. Dan kalau orang sudah
marah besar, biasanya hampir tidak ada sikap dan cara-cara
intelektual yang akan terjadi selanjutnya.
Ketika
saya terima, tangan saya merasakan lipatan itu tipis sekali. Ternyata
hanya uang Rp. 50 ribu! Astaghfirullahalazhiim…! Dia memang
menyantuni saya! Saya tidak tersinggung terhadap penolakannya untuk
bergabung, tapi terhadap perlakuan dan pandangan dia dalam hal
memberi uang pengganti ongkos ini, saya sangat tersinggung!
Tega-teganya dia memposisikan seorang marketing bisnis Klub yang
layak disantuni! Saya tidak meremehkan uang 50 ribu rupiah sebagai
rizki, tapi saya tidak suka dengan situasi ini!
Dengan
segera saya mengatur sikap, menurunkan rasa kaget, menghilangkan raut
wajah tersinggung dan meredam marah. Menggantinya dengan senyum dan
sikap gembira.
“Ngomong
ngomong pak, bisa bapak berikan ke saya paling tidak relasi bapak
yang bisa dikenalkan ke saya...." Saya coba teknik CLD - Contact
List Digging.
“Tentu.
Sebentar saya berikan..”
Kalau
begitu saya pamit, Pak. Terimakasih telah menyediakan waktu untuk
saya, juga uang 50 ribu ini.” Pamit saya padanya sambil bersalaman.
“Ya
ya ya, Pak Gideon. Sama-sama. Terimakasih sudah bersilaturahmi.”
Saya
pun beranjak pergi sambil diantar olehnya sampai pintu lift.
No comments:
Post a Comment